Sabtu, 12 September 2015

Problematika Zakat Pengurang Pajak


Problematika Zakat Pengurang Pajak
Oleh : Drs.Hamzah Johan
(Komisioner Baznas Batam 2015-2020)


Dalam penulisan masalah "Zakat Pengurang Pajak" ini saya mulai dari mengemukakan :

A. DASAR HUKUM

Ada beberapa Dasar Hukum atau aturan yang mengatur tentang zakat sebagai pengurang pajak, antara lain :

1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2012, pasal 22 dan 23 menyebutkan :
Pasal 22 : "Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak".
Pasal 23 : "(1)  BAZNAS atau LAZ wajib memberikan bukti setoran zakat kepada setiap muzaki. (2)  Bukti setoran zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak".

2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,  yakni diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a nomor 1 yang berbunyi:
“Yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah: bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak.”

3. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2010 Pasal 1 ayat (1) menyebutkan :
“Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi:

a)    zakat atas penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; atau

b)    sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama selain agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama selain agama Islam, yang diakui di Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.”

4. PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-15/PJ/2012 menyebutkan dalam Keputusannya :
" Menetapkan: MEMUTUSKAN: PERATURAN  DIREKTUR  JENDERAL  PAJAK  TENTANG  PERUBAHAN  PERATURAN DIREKTUR  JENDERAL  PAJAK  NOMOR PER 33/PJ/2011TENTANG BADAN/LEMBAGA  YANG  DIBENTUK  ATAU  DISAHKAN  OLEH  PEMERINTAH YANG  DITETAPKAN  SEBAGAI  PENERIMA  ZAKAT  ATAU  SUMBANGAN KEAGA MAAN  YANG  SIFATNYA  WAJIB  YANG  DAPAT  DIKURANGKAN  DARI PENGHASILAN  BRUTO".


B. INTERPRETASI

     Jika sekilas kita membaca Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2012 pada pasal 22 dan 23 tersebut maka seolah-olah kita mendapat pesan dan kesan bahwa zakat tersebut dapat sebagai pengurang pajak. Akan tetapi setelah kita baca secara teliti maka sangat jelas bahwa zakat hanya "Pengurang Penghasilan Kena Pajak" atau hanya mengurangi OP (Objek Pajak), bahkan secara tegas dalam PP Nomor 60 Tahun 2010 dan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-15/PJ/2012 bahwa posisi  Zakat adalah "Pengurang Penghasilan Bruto"  bukan "Pengurang Pajak".
     Jika aturan-aturan tersebut diterapkan maka hitungannya adalah: "Kewajiban seseorang terhadap harta atau penghasilannya:
Pertama: Dipotong 2,5 %  sebagai Zakat.
Kedua: Dipotong 5 % ( Lihat : Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Sampai dengan Rp 50 juta= 5%. Di atas Rp 50 juta sampai dengan Rp 250 juta=15%. Di atas Rp 250 juta sampai dengan Rp 500 juta=25%. Di atas Rp 500 juta=30%).

Bilamana seseorang punya pendapatan per tahun Rp.50.000.000,- maka kewajibannya adalah:
1. Mengeluarkan Zakat yakni ; 2,5 % X Rp. 50.000.000,-= Rp. 1.250.000,-
2. Mengeluarkan Pajak yakni ; (Rp.50.000.000 - Rp. 1.250.000) X 5 % = Rp.  2.437.500,-
    Total kewajiban adalah : Rp.1.250.000 + Rp. 2.437.500 = Rp. 3.687.500,-

     Jadi sangat jelas bahwa dari sudut penghasilan, zakat dengan objek tersendiri (lebih luas, termasuk semua objek pajak yang halal) dan pajak dengan objeknya pula (tidak termasuk Zakat dan Sumbangan wajib keagamaan lainnya).
     Andai Zakat dijadikan pengurang pajak maka interpretasinya dari contoh diatas adalah : Rp.50.000.000 x 5 % -Rp.1.250.000 = Rp . 1.250.000,- . Hal itu bermakna bahwa zakat sangat signifikan sebagai pengurang pajak, sesuatu yang amat didambakan oleh para muzakki.

C. DAS SEIN Dan DAS SOLLEN

       Istilah Das Sein dan Das Sollen adalah kata-kata yang sangat akrab di dunia penelitian. Jika diterjemahkan secara bebas maka Das Sein berarti "Kenyataan Yang Terjadi", Das Sollen berarti "Harapan Terjadi".
Kenyataan yang terjadi sekarang di Indonesia seorang muslim yang memiliki pendapatan seperti disebutkan diatas , berkewajiban membayar zakat sekaligus pajak (pajak dalam hukum Indonesia, bukan pajak dalam Hukum Islam). Pajak dalam Hukum Indonesia sangat berbeda dengan Pajak dalam Hukum Islam. Perbedaan itu antara lain ;

1.  Pajak dalam Hukum Indonesia diwajibkan oleh Pemerintah Indonesia, Sedangkan pajak dalam Hukum Islam diwajibkan oleh Allah berdasarkan kepada ayat Al-Qur’an Surat At-Taubah : 29.
"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (Agama Allah), yaitu orang-orang yang diberi Al-kitab kepada mereka, sampai mereka membayar "Jizyah" dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk.".

2. Tarif Pajak dalam Hukum Indonesia sangat besar, sedangkan dalam hukum Islam tarifnya diringankan sesuai dengan kemaslahatan.

3. Prospektif Hukum Indonesia tarif pajak semakin diperbesar sedangkan Hukum Islam semakin diperkecil bahkan dihilangkan. Hal ini telah dipraktekkan di negara Malaysia, dimana orang Islam membayar zakat penghasilan tidak dibebani lagi dengan kewajiban pajak penghasilan.


D. PPROBLEMATIKA LAPORAN ZAKAT DAN PAJAK

 Banyak dikalangan umat Islam merasa mendapat masalah ketika mereka membuat laporan zakat dan pajak ;

Pertama : Melaporkan Zakat kepada Dinas Perpajakan tidak akan mengurangi kewajiban membayar pajak, tapi hanya  mengurangi objek pajak. Bahkan ketika zakat dicantumkan dalam SPT ( Surat Pemberitahuan) Masa Pajak Penghasilan (PPh) akan melambungkan jumlah kewajiban sehingga menjadi masalah dan bisa berujung pada pengauditan pendapatan pada yang bersangkutan.

Kedua : Pembayar Pajak menjadi enggan mencantumkan nama aslinya ketika membayar zakat, bahkan tak membayar zakat kepada OPZ demi menghindari audit atas harta kekayaannya.

E. PENUTUP

Sangat diharapkan adanya regulasi Zakat dan Pajak yang sangat prospektif sehingga para muzakki bertambah banyak, pendapatan pajak semakin meningkat, pada gilirannya kesejahteraan dan kemakmuran menjadi kenyataan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar